Menemukan Kekuatan Jati Diri Guna Melampaui Keterbatasan
Aug 31, 2021 2021-08-31 20:14Menemukan Kekuatan Jati Diri Guna Melampaui Keterbatasan
BERBICARA masa depan, mandat satu-satunya adalah kita harus mewariskan kehidupan kita ini, kehidupan yang cemerlang kepada generasi yang gemilang. Tugas kita adalah tidak meninggalkan dunia ini selain meninggalkan kecemerlangan kepada generasi yang gemilang, kepada generasi yang sanggup untuk melanjutkan kegemilangan. Kalau kita merasakan, dari sejak abad 12 kita telah mengalami kemunduran yang luar biasa, baik kemunduran ilmu pengetahuan, maupun kemunduran peradaban.
Kita mengetahui bahwa di abad 12 lahir ilmuwan-ilmuwan hebat, karya-karya hebat. Selama ratusan tahun, orang bertanya ekosistem yang seperti apa yang membuat lahirnya karya-karya besar itu. Ibnu Sina (370–428 H) menguasai bahasa Arab, geometri, fisika, logika, ilmu hukum Islam, teologi, dan ilmu kedokteran. Ibnu Rusyd (520–595 H) menguasai ilmu fikih, ilmu kalam, sastra Arab, matematika, fisika astronomi, kedokteran, dan filsafat. Muhammad bin Musa al Khawarizmi (780–850 H) menguasai bidang matematika, astronomi, geografi, dan membuat buku al-Jabar, buku pertama yang membahas solusi sistematik dari linear dan notasi kuadrat; dan ilmuwan hebat lainnya.
Bahwa ketersediaan sumber daya untuk tumbuh dapat menghasilkan ilmu pengetahuan itu lahir dari kemakmuran. Maka kita kembali ke teologi kemakmuran, bahwa hidup manusia itu didesain hanya untuk memilih 2 (dua) hal. Makna Surat An Najm: 48, bahwa Allah sudah memberikan kepada umat manusia dua pilihan, pertama kemakmuran atau kecukupan. Manusia itu secara takdir, diperintahkan memilih, apakah memilih makmur atau memilih cukup. Dan kita memilih makmur, karena makmur itu melahirkan banyak hal, yaitu peradaban. Hanya dengan kemakmuran, ada kemajuan teknologi. Sehingga sebenarnya yang harus kita semai adalah pikiran-pikiran untuk selalu melahirkan ekosistem peradaban, dan ekosistem kemakmuran hanya bisa dilahirkan dari teologi kemakmuran. Pilihan hidup yang didasarkan kepada perintah Allah, yang bermakna spritualitas dengan kita selalu berusaha mengembangkan kemampuan kita untuk mengelola hidup lebih baik.
Pada masa pandemi sekarang ini, dapat kita pelajari dari 2 (dua) pesan penting dari Charles Darwin, yakni survive dan the fittest. Charles Darwin (1809) mengatakan ”It’s not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent, but the one most responsive to change.” Bukanlah yang paling pintar dan yang paling kuat yang dapat bertahan, tetapi yang paling responsif pada perubahan yang bisa bertahan. Kondisi pandemi ini luar biasa dahsyat, maka dia hanya memberi pesan kepada kita; yang akan survive, adalah the fittest. Charles Darwin (1811) juga mengatakan “In the struggle for survival, the fittest win out the expense of their rivals because they succeed in adapting themselves best to their environment.” Jadi dalam perjuangan untuk bertahan atau survive, maka salah satu hal yang paling penting adalah kita harus menjadi the fittest. Orang yang bisa survive adalah orang yang paling fit. Ini sebenarnya memberikan kita dorongan untuk melihat sendiri di lapangan, agar kita mampu melewati kesulitan sebagai upaya untuk membangun peradaban.
Maka justru hari ini kita harus mampu menyalip di tikungan, saatnya kita melakukan percepatan dan akselerasi, ini saatnya kita mengambil keputusan ketika orang lain tidak berani mengambil keputusan. Ini saatnya kita melakukan investasi pada inkubasi bisnis yang harus segera kita tanam ketika orang lain ragu-ragu. Memperhatikan di kondisi negara juga demikian, negara-negara di dunia sekarang sedang mengalami kesulitan, maka negara Indonesia harusnya lebih cerdas, lebih cerdik untuk melakukan terobosan-terobosan ekonomi. Membangun budaya hidup yang cerdas, kreatif, inovatif, dan sebagainya.
(Tulisan Coach Dr. Fahmi ini pernah dimuat di radarmalang.com rubrik Spirit Gemilang tanggal 14 Juli 2021)