Indonesia tengah berjuang menghadapi predikat “fatherless country”, sebuah fenomena yang diperparah oleh budaya patriarki yang mengakar. Laporan “State of the World’s Fathers” (2015) menunjukkan bahwa peran ayah seringkali tereduksi menjadi pencari nafkah, sementara tanggung jawab pengasuhan anak dibebankan pada ibu. Hal ini diperkuat oleh UU Perkawinan yang masih menempatkan peran gender secara tradisional. Padahal, data dari UNICEF (2021) menunjukkan bahwa 20,9% anak Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah, sebuah angka yang mengkhawatirkan bagi masa depan generasi muda.

Di tengah tantangan ini, membangun peradaban gemilang bagi generasi muda menjadi semakin krusial. Ayah memiliki peran penting dalam membentuk karakter, memberikan dukungan emosional, dan menjadi teladan bagi anak-anaknya. Kehadiran ayah yang aktif dan terlibat dalam pengasuhan terbukti memberikan dampak positif pada perkembangan kognitif, sosial, dan emosional anak. Studi dari Universitas Harvard (2019) menunjukkan bahwa anak-anak yang memiliki ikatan kuat dengan ayah cenderung memiliki prestasi akademik yang lebih baik dan lebih mampu mengatasi stres.

Oleh karena itu, setiap ayah perlu memikirkan cara-cara inovatif untuk mendukung percepatan perkembangan anak-anaknya. Di era digital seperti saat ini, ayah dapat memanfaatkan teknologi untuk tetap terhubung dan terlibat dalam kehidupan anak, meskipun harus bekerja di luar rumah. Selain itu, ayah juga perlu menantang norma-norma gender yang membatasi peran mereka dalam pengasuhan. Dengan menjadi ayah yang hadir dan terlibat, kita dapat bersama-sama membangun generasi muda yang tangguh, berkarakter, dan siap menghadapi tantangan masa depan (CF).

Ditulis 𝗖𝗼𝗮𝗰𝗵 𝗗𝗿. 𝗙𝗮𝗵𝗺𝗶,

Founder 𝗔𝗹 𝗙𝗮𝗿𝗮𝗯𝗶 𝗟𝗲𝗮𝗱𝗲𝗿𝘀𝗵𝗶𝗽 𝗦𝗰𝗵𝗼𝗼𝗹